Sikap Politik PEMBEBASAN
RUU Pendidikan Tinggi: Upaya rezim kapitalis SBY-Boediono menghancurkan sistem pendidikan nasional
Kami tidak sudi, Gagalkan !!
RUU Pendidikan Tinggi: Upaya rezim kapitalis SBY-Boediono menghancurkan sistem pendidikan nasional
Kami tidak sudi, Gagalkan !!
Ganti dengan pendidikan gratis yang kerakyatan, berkualitas, demokratis, feminis !!
SBY-Boediono, rezim pendidikan mahal !
Lawan Komersialisasi Pendidikan, tolak RUU PT !
Salam pembebasan nasional !
Pendidikan semakin komersil, dan justru membodohkan!
SBY-Boediono, rezim pendidikan mahal !
Lawan Komersialisasi Pendidikan, tolak RUU PT !
Salam pembebasan nasional !
Pendidikan semakin komersil, dan justru membodohkan!
Indonesia memiliki banyak tenaga produktif, namun, sayarat-syarat perkembangannya tidak sanggup diberikan oleh Negara kapitalis. Padahal kita adalah Negara yang kaya sumber daya alam. Namun, celakanya, segala sumber kehidupan yang bermanfaat bagi kemajuan tenaga produktif diserahkan kepada investor untuk diperdagangkan secara murah dalam pasar neoliberal. Akibatnya, liberalisasi-liberalisasi di negeri ini menjadi marak, kesejahteraan tidak menjadi hak rakyat, tapi harus berbagi hasil (secara tidak adil) kepada investor.
Melihat kekayaan sumber daya alam yang melimpah, maka, tidak ada alasan bagi rendahnya tenaga produktif (manusia), kecuali jika rezim SBY-Boediono semakin patuh kepada investasi dari pada patuh terhadap kehendak rakyat yang menginginkan kesejahteraan.
Kebijakan liberalisasi agen imperialis SBY-Boediono tak cukup hanya di sektor financial dan dagang saja, namun hukum dan sistem politik juga harus mengikuti alur kebijakan neoliberal. Termasuk juga sektor pendidikan, menjadi sasaran liberalisasi yang terwujud dalam program privatisasi pemerintah terhadap dunia pendidikan. Kampus di BHMN-kan, pengelolaannya
digantungkan pada sebanyak-banyaknya investasi, tujuannya adalah agar dapat mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari dunia pendidikan yang dibisniskan.
Represifitas dunia pendidikan oleh orba (sejarah singkat).
Babak baru (masa suram yang gelap) sistem demokrasi Indonesia, menandai dekadensi besar-besaran tenaga produktif rakyat. Setelah patahnya komunisme di Indonesia yang dimulai tahun 1965, perombakan secara menyeluruh sistem okonomi-politik dilakukan oleh rezim militer, penguasa baru tersebut. Kediktaturan mengacaukan segalanya. Gerakan rakyat yang sudah bergeliat dihancurkan, organisasi revolusioner dibubarkan, orang-orangnya ditumpas mati (di Jawa dan Bali banyak yang dipotong kepalanya). Tak hanya organisasi dan orang-orangnya yang ditumpas, tapi kebudayaannya, kesadarannya, sejarahnya dihancurkan, faktanya diputarbalikkan. Soeharto sukses melakukan operasi pembersihan unsur komunis dan nasionalis kiri. Saking suksesnya, kediktaturan militer Augusto Hose Ramon Pinochet Ugarte yang memimpin Chili dari 1973-1990 terinspirasi oleh Soeharto, hingga menamai operasinya menumpas unsur revolusioner di Chili dengan nama ’The Jakarta Operation’/Operasi Jakarta. 3.200 orang sosialis mati, 80.000 diasingkan, 30.000 disiksa. Dan akhirnya ”sukses” dengan kudetanya (yang dibantu CIA) terhadap Presiden Salvador Allende yang sosialis.
Mahasiswa yang lolos dari pembantaian orde baru, yang bisa lari ke luar negri, sepulangnya ke Indonesia membawa ajaran-ajaran baru dari Ibu Eropanya: Kiri baru (New Left), Neo-Marxist, Sosial-Demokrasi dari barat, kemudian membangun LSM-LSM berorientasi reformis. Begitu kondisinya. Ketika itu pula, kiri/Marxist/anti kapitalisme diidentikkan dengan sesuatu yang menakutkan, segala tindak kejahatan diasosiasikan sebagai komunis. Bahkan ditanamkan dalam benak sanubari rakyat, dalam kesadaran bahwa komunis/kiri itu jahat-kejam-tak manusiawi, anggapan-anggapan tersebut dibakukan lewat kurikulum pelajaran dari SD hingga kuliah, dimana-mana, di tiap pidato-pidato RT, di TV, radio, majalah, koran, dll. Pencitraan negatif tersebut berhasil membuat efek traumatik rakyat terhadap ajaran komunis/Marxis. Muncullah pelarangan ajaran Marxis-Leninis lewat instrumen hukum berupa Tap MPRS No. 25 tahun 1966. Hingga sekarang, haluan revolusioner dipropagandakan oleh rezim lebih luas lagi cakupannya, yaitu, segala sesuatu yang menolak kapitalisme dan rezim agen imperialisme.
Dunia pendidikan tak luput juga dari proyek pembersihan unsur-unsur revolusioner. Setelah sukses menumpas gerakan mahasiswa yang berideologi Marxist dan nasionalis kiri, kini giliran rezim mengatur dan memasukkan mahasiswa ke kandang-kandang intelektualitas formal. Belajar tentang teori-teori akademik sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing tanpa boleh ikut campur urusan perpolitikan pemerintahan, tak boleh ada gerakan massa, protes-protes, kritik dibungkam. Dibuatkan pula aturan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) tahun 1978 oleh Daoed Joesoef. Bahkan ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah semakin memperketat ruang ekspresi politik mahasiswa. Mahasiswa dikoridorkan jalur politiknya melalui wadah bentukan rezim berupa Senat Mahasiswa, BEM, dll, di luar lembaga tersebut dianggap terlarang. Pada saat yang hampir bersamaan, diberlakukanlah Sistem Kredit Semester (SKS) sehingga mahasiswa harus dipacu untuk segera menyelesaikan matakuliah yang sudah dijatah dalam tiap semesternya, tak ada lagi waktu luang untuk bisa melakukan aktifitas lain. Makin jauh saja dari realitas kesadaran objektif, kenyataan dunia. Namun, kendala tehnis di atas tidak bisa kita simpulkan secara spekulatif bahwa itulah penyebab matinya gerakan mahasiswa karena, ada juga situasi yang lebih represif
namun bisa diatasi oleh gerakan. Jadi, ini adalah persoalan kesadaran/keyakinan terhadap revolusi. Karena setelah orba berkuasa, tidak sedikit para aktivis mahasiswa masuk dalam kabinet Soeharto. Menikmati fasilitas borjuis yang diberikan kepadanya.
Kapitalisme menghancurkan tenaga produktif.
Kenyataan lemahnya kapasitas rakyat akibat serangan kapitalisme.
Rendahnya akses pendidikan menyebabkan rendah pula kapasitas industri dalam negeri, ditambah dengan watak elite borjuisnya payah—oportunis. Penelitian Kompas mengatakan bahwa: 92% tenaga produktif (terutama teknologi) masih tergantung asing. Itu pula penyebab kepentingan kapitalis dalam negeri (borjuis nasional) terhadap ide nasionalisme sangat rendah—mereka tak mampu membayangkan yang terjadi jika transaksi kerja dari konsekuensi ide nasionalismenya (jika konsisten) berwujud nasionalisasi dan membangun industri nasional yang tangguh.
Dari contoh di atas, sebenarnya, tenaga produktif-lah kunci paling menentukan dalam hidup-matinya kapitalisme. Namun, watak kontradiktif capital membuat kepentingan tenaga produktif menjadi terpenjara. Kontradiktifnya adalah : Bagaimana mungkin alat produksi yang dipakai untuk mencukupi kebutuhan rakyat banyak tapi kepemilikannya dimiliki segelintir orang padahal, alat produksi tersebut juga merupakan hasil dari capital, dimana capital itu sendiri hasil dari kerja kolektif tenaga kerja. Jadi, letaknya ada pada kepemilikan, yang akan terus menghambat tenaga produktif.
Dalam tahap selanjutnya, kontradiksi kapitalis itulah yang mengakibatkan hubungan produksi antara borjuis vs proletar tidak setara, bentrok kepentingan. Dalam wilayah praksis, hubungannya saling berkontradiksi karena : kapitalis memiliki tujuan inti meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa batas (unending accumulation of profit), dan untuk itu ia harus menaklukkan kepentingan buruh yang selalu menuntut upah setinggi-tingginya serta kondisi kerja paling layak.
Mahalnya biaya pendidikan.
Ini terkait dengan rendahnya harga tawar buruh (proletar) di hadapan kapitalis. Rendahnya harga tawar tersebut tidak begitu saja terjadi, ini dikarenakan akses terhadap pengetahuan sangat rendah dan sulit, penyebabnya adalah komersialisasi pendidikan yang mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. Di sinilah point pentingnya peran pendidikan dalam memajukan kapasitas manusia sebagai bagian dari tenaga produktif.
Maka, konsekuensi dari kreatifitas kapitalisme menyelamatkan diri, dibutuhkanlah banyak kesepakatan yang mengikat secara ekonomi-politik, dan memiliki target juga tagihan-tagihan konkrit berupa profit yang besar sebagai deviden tak rasional. Terhadap sektor jasa (termasuk pendidikan), kesepakatannya dimotori oleh WTO melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi, serta jasa-jasa lainnya.
RUU PT: Adalah Kepentingan Kapitalisme Untuk Komersialisasi Pendidikan
Yang harus dimenangkan selain penguasaan perdagangan dan keuangan adalah: kesadarannya.
Kaum borjuis mengerti betul bahwa, untuk memenangkan kesadaran manusia agar relevan dengan penguasaan ekonomi, dilakukan melalui cara hegemoni kesadaran. Selain melalui media massa dan tempat-tempat ibadah, institusi pendidikan adalah ruang yang strategis untuk memproduksi kesadaran borjuis. Tentunya, mereka memerlukan liberalisasi konstitusi sebagai legitimasi. Maka diproduksilah sebanyak-banyaknya UU demi kepentingan kapital. Termasuk juga aturan hukum tentang komersialisasi pendidikan terbaru: RUU PT.
Salah satu contoh liberalisasi konstitusi yang menunjang komersialisasi pendidikan adalah UU Sisdiknas dan RUU PT. Secara watak, substansinya masih beraroma liberalisasi sektor pendidikan, berwatak kapitalistik. Terbukti dengan masih sulitnya akses pendidikan, kuota masuk PTN masih dibatasi 20% bagi warga miskin, kurikulumnya disesuaikan dengan pasar, terdapat kenaikan biaya per-tahun tanpa ada keseimbangan optimalisasi tehnologi modern yang mendukung pembelajaran, dll. Seleksi-seleksi ujian masuk PTN juga hal yang kontradiktif dengan 'niatan' pemerintah untuk membuka seluas-luasnya akses pendidikan. Dibuka seluas-luasnya, tapi masih ada seleksi. Terdapat juga problem tentang UN, dimana standarisasi nilai dalam UN juga bermasalah karena, adanya generalisasi standar terhadap semua sekolah. Padahal, jika ditinjau dari kualitas pendidikannya, tiap daerah berbeda-beda. Berbedanya kualitas tersebut sebagai resultan bahwa tidak bisa meratanya pendidikan (kualitas guru, kapasitas sosial, tehnologi—akses terhadap ilmu pengetahuan, dll) akibat dari komersialisasi pendidikan.
SBY-Boediono, parpol dan seluruh elite politik adalah rezim komersialisasi pendidikan; lawan!
Mereka adalah penghancur tenaga produktif. Salah satu inti dari kemajuan tenaga produktif adalah pendidikan dan kesehatan. Bagi kami, muara dari segala persoalan (selain tehnis-tehnis dalam pasal) adalah : dengan adanya hukum kepemilikan kapitalislah maka, tidak bisa seluruh rakyat sanggup mengakses pendidikan/ilmu pengetahuan. Itu medan problematika utamanya. Maka, jika muaranya sudah salah maka turunan-turunannya pun akan menjadi kontradiktif dengan gagasan awalnya.
Selain memang, jika berbicara pasal per pasal akan terlihat semisal pada Pasal 69 ayat 3e dalam RUU PT yang menyebut wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi. Ayat ini mengandung arti perguruan tinggi berhak melakukan praktik komersialisasi, misalnya fasilitas kampus.
Pasal 51 ayat 1 yang menyebut 'Perguruan tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah NKRI sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal itu kita analisa sebagai kompetisi pasar yang tidak seimbang. Sebenarnya akan lebih bagus jika gagasan berkembang dan meluas (tentunya dengan ‘pertarungan’ gagasan yang wataknya demokratis), akan tetapi, dalam situasi yang ‘belum siap’ tidak bisa langsung dikeompetisikan, melihat kapasitasnya masih belum setara. Artinya lagi, bukan pula soal ‘asing’ saja, bahkan ketika semua perguruan tinggi dalam negeri pun pendidikan susah diakses rakyat banyak, dan kapasitas tenaga produktif sulit berkembang.
Kemudian, tentang pasal penting yang hilang. Pasal yang mengatur kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan minimal 2,5% dari anggaran pendidikan untuk keperluan PT (pasal 93 ayat 3 versi April) sudah tidak ada lagi. Praktis dalam draft terbaru ini tidak dijelaskan mengenai kewajiban pemerintah dalam pendanaan perguruan tinggi.
Maka dari itu Kami dari Kolektif Nasional Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (KolNas – PEMBEBASAN) menuntut :
1. Tolak Pengesahan RUU PT
2. Nasionalisasi Industri untuk Pembiayaan Pendidikan Gratis
3. Menyerukan kepada seluruh lembaga-lembaga kampus, Dosen ( dan seluruh Civitas Academika) dan Gerakan Rakyat untuk mengkonsolidasikan diri melawan komersialisasi Pendidikan.
Salam Juang !
Terus Berkobar !
Jakarta, 10 Juli 2012
Kolektif Nasional Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
(KolNas PEMBEBASAN)
Ketua Umum Sekretaris Jendral
Mutiara Ika Pratiwi Sutrisno Bandu
0 Response to "Sikap Politik RUU Pendidikan Tinggi"
Posting Komentar