Biaya politik semakin melonjak, apanya yang salah?

Tulisan ini bermula dari pertanyaan “kenapa biaya Pilkada (pemilihan umum kepala daerah) begitu mahal” oleh seorang petani di mamuju, saat mendengar betapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merebut kursi kepala daerah provinsi sulawesi barat. Dan tidak hanya di sulbar (sulawesi barat) tentunya, tetapi hampir di seluruh Indonesia, biaya politik semakin tinggi. Dalam upaya memenangkan Pilkada, para pasangan calon gubernur harus merogoh kantong tebal untuk membayar pendukung kemenangan, seperti lembaga survey, konsultan politik, para tokoh yang berpengaruh di tengah-tengah massa, massa calon pemilih, hingga para makelar politik. Jangan dipikir ongkos politik yang tinggi ini hanya di negara-negara yang dikenal korup saja. Semakin demokratis dan “bebas” korupsi sebuah negara, justru semakin tinggi biaya kampanye politik.

Kemudian pertanyaannya, mungkinkah mereka yang terpilih menjadi kepala daerah benar-benar bekerja untuk kesejahteraan rakyatnya?

Inilah problem dari demokrasi liberal (demokrasi borjuis). “Superioritas” nilai yang mendasari demokrasi ini - kebebasan, keadilan, kesetaraan, pluralisme – sudah penuh dengan karat. Isu demokratisasi yang digerakkan seperti gerobak tua yang tak mampu bergerak sejengkalpun, sebuah konsepsi mentah yang sengaja dilanggengkan untuk kepentingan modal dan segelintir borjuasi. Lalu, apa jadinya bila sebuah demokrasi yang telah berkarat masih menjadi basis nilai politik di negeri ini?

Jawabannya jelas, jangan berharap ada perubahan fundamental menuju tatanan yang adil dan menyejahterakan; jangan berharap ada kebebasan apapun di bawah demokrasi borjuis; dan jangan bermimpi menjadi seorang pemimpin – dari kepala desa, bupati, gubernur, hingga presiden – jika tidak memiliki banyak uang. Inikah yang disebut demokratis?

Secara konseptual, demokrasi merupakan sistem yang tepat dalam masyarakat yang kompleksitasnya terus melaju. Sejak kelahirannya, demokrasi diharapkan menjadi jalan bagi kebuntuan tata sosial feodalis. Demokrasi harus bisa memecahkan problem-problem keadilan, kebebasan, kesetaraan, dll. Dan akhirnya, demokrasi diharapkan menjadi instrumen politik yang progresif. Tetapi harapan itu ternyata berbeda dengan kenyataannya. Konsepsi “agung” itu, dalam prosesnya, menjadi alat untuk mengelabuhi, menjadi tumpu bagi kaki-kaki borjuasi. Marx menyebut ini sebagai demokrasi borjuis.

Sejak awalnya, Marx dan Engels sudah menganalisa watak demokrasi borjuis ini. Dalam The Origin of the Family, Engels memberikan gambaran bahwa di bawah demokrasi borjuis hak-hak warga negara ditentukan oleh kekayaan. Ini menegaskan secara eksplisit bahwa negara borjuis merupakan sebuah organisasi milik kelas yang berpunya untuk menguasai kelas yang tak berpunya.

Analisa Engels ini terjadi saat negeri ini masih hutan belantara. Namun sampai hari ini, ironisnya, demokrasi borjuis yang datang dengan maksud mendampingi modal ini terus dipuja-puja dengan riuh sorak dan gegap cinta. Dalam diskusi panjang yang tertulis di Reform or Revolution, Rosa Luxemburg memberikan gambaran yang jelas bahwa demokrasi borjuis telah memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan kapitalisme. Ini artinya, ada hubungan struktural antara demokrasi borjuis dengan kapitalisme, sebuah hubungan antar kebutuhan yang tidak dapat dihindari.

Kenapa biaya politik semakin mahal? Di sinilah kita akan segera menemukan titik terang dengan melihat hubungan struktural antara demokrasi borjuis dan kapitalisme. Hubungan ini menjadikan demokrasi liberal (borjuis) memiliki karakteristik tersendiri, yakni keberadaannya hanya untuk melayani proses modal, untuk kepentingan kapitalisme, dan tentunya, untuk merepresi kelas buruh dan mengelabuhi seluruh rakyat yang tak berdaya. Dengan menggunakan perspektif modal, di bawah demokrasi borjuis, politik bermakna komoditas, sesuatu yang bisa diperdagangkan. Siapa yang bisa membeli dengan harga tinggi, dialah yang akan mendapatkannya; dan siapa yang telah mendapatkannya, dialah yang berhak meraup keuntungannya, entah dengan korupsi, manipulasi anggaran, menyalahgunakan jabatan, dll. Logikanya, dengan biaya yang mahal dalam memenangkan pertarungan politik menuju kursi kekuasaan, sangat tidak mungkin tidak berpikir untung rugi; sangat tidak mungkin kekuasaannya bertujuan untuk membangun kesejahteraan rakyat.

Dengan fakta fenomenal di atas, satu pertanyaan penting perlu diajukan: benarkah negeri ini sudah demokratis, ketika seluruh akses politik, ekonomi, dan relasi sosial hanya dikuasai oleh segelintir orang yang punya modal?

Diambil disini

0 Response to "Biaya politik semakin melonjak, apanya yang salah?"

Posting Komentar

wdcfawqafwef