GULINGKAN REZIM NEOLIB (SBY-BUDIONO) ANTI DEMOKRSI ,REBUT DEMOKRASI SEJATI.
Sudah 14 tahun reformasi berjalan, itu berarti sudah 14 tahun pula proses yang di sebut transisi demokrasi berlansung di Indonesia. Banyak pengamat politik dalam negeri maupun asing yang memuji –muji proses demokratisasi tersebut, dan menganggap bahwa banyak negara dunia ketiga yang gagal dalam proses demokratisasi harus belajar pada Indonesia. namun ada hal yang menarik yang perlu dianalisa kembali. Yakni; Proses transisi di Indonesia apakah pantas di sebut sebagai proses demokratisasi, atau malah counter demokrasi?.
Wacana transisi demokrasi mulai santer bergulir paska reformasi 1998, perjuangan mahasiswa-rakyat membuka ruang demokrasi dengan menjatuhkan kediktatoran Orde Baru telah membuahkan hasil; Demokratisasi. Para pengamat tersebut kemudian ber-asumsi bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami proses transisi demokrasi; ditandai dengan di akomodirnya sistem politik demokratis(baca;pemilu Multi partai, dan kebebasan berorganisasi, kebebasan pers, dan kebebasan berpendapat), dan perombakan struktur politik otoriter untuk semakin demokratis. Para politisi yang tersengkir di jaman orde baru bersorak riang menyambut angin perubahan tersebut, dan berlomba-lomba membangun mesin politiknya untuk masuk dalam gerbong tersebut. Kekuatan Gerakan Mahasiswa yang boleh di katakan sebagai representasi dari kekuatan sosial pro perubahan(demokratisasi), mayoritas masih mengambil model lama gerakannya; Gerakan Moral. Seperti yang sudah digariskan dalam model gerakan seperti itu, mahasiswa pun menganggap bahwa tugasnya sudah selesai dan saatnya di serahkan kepada para politisi/elit politik untuk melangjutkannya. Akibatnya adalah elit politik yang sebenarnya berganti baju, tetapi orientasi dan kepentingan politiknya masih berbau Orba memainkan peran penting. Terjadilah pembajakan demokrasi; demokrasi yang sebenarnya masih sangat baru di bajak oleh para elit politik baru yang terutama mereka mewakili kepentingan para pemodal(bankir, Lembaga moneter Internasional, dan korporasi asing), karena belum cukup kuat bersekongkol dengan sisa-sisa kekuatan lama. Elit politik yang memegang peran dominan dalam arus politik tersebut adalah elit politik yang hanya berganti baju tetapi masih memakai paradigma lama. Cara mereka dalam memainkan kepentingan politiknya masih dengan cara-cara lama sehingga sebenarnya saat itu demokrasi telah kehilangan semangatnya.
Argumentasi bahwa telah terjadi proses transisi demokrasi(demokratisasi) saat itu sebenarnya sangat lemah, alasannya; (1). Tidak ada penghancuran terhadap sisa-sisa kekuatan lama. Memang ada perombakan dalam sistem politik(parlemen, kepartaian, hubungan pusat dan daerah, dan lain-lain) tetapi semua itu masih menjadikan sisa-sisa kekuatan lama sebagai aktor utamanya. Lihat saja proses pengadilan terhadap tokoh sentral Orde Baru, sikap para elit politik yang mengaku reformis hampir semuanya sama; “sudah, maafkan saja karena dia sudah tua”. Belum lagi jika di hubungkan dengan kasus pelanggaran HAM di jaman Orde Baru, dan tuntutan pengadilan terhadap partai Golkar. (2). Demokrasi telah di reduksi oleh para pengamat politik dan LSM dengan menilai demokrasi sekedar di tutup dan di hidupkannya lembaga baru(komisi pemberantasan korupsi, Lembaga HAM, dan sebagainya), mengukur capaian demokrasi secara prosedural(pemilu, Pilkada, Pilkades). Padahal inti demokrasi adalah partisipasi rakyat secara lansung dalam proses politik(perumusan dan penetapan kebijakan), dan secara ekonomi terjadi distribusi yang adil yang memungkinkan orang memiliki hak yang sama. (3) masih kuatnya peran militer di bidang politik, meskipun di bidang ekonomi perlahan-lahan di lucuti oleh program privatisasi BUMN, dan perusahaan milik tentara. Tidak ada reformasi dalam tubuh tentara, sehingga keberadaan militer saat ini masih menjadi institusi yang sangat anti demokrasi dan selalu berhadapan dengan kekuatan prodemokrasi.
di Indonesia pada saat elit politik yang mengaku reformis terpilih dalam proses politik electoral dan multi partai, tetapi komitmen mereka terhadap perluasan demokrasi sangat lemah. Pada saat kampanye pemilihan umum, para calon dan partai-partai berjanji untuk menjalankan proses demokrasi sampai tuntas, isu yang populis dikampanyekan oleh para calon presiden dan Partai adalah pemberantasan korupsi, pendidikan, gender, dan kesejahteraan rakyat. Namun kenyataannya, setelah mereka berkuasa malah berbalik menyerang demokrasi dan kesejahteraan Rakyat. Semua presiden yang terpilih kemudian bekerja sama dan menandatangani kesepakatan ekonomi dan politik dengan lembaga-lembaga moneter dan perdagangan internasional(IMF dan WTO). Hasilnya adalah perluasan pasar Negara industri maju, dan kemudahan bagi arus masuk dan keluar modal(investasi), dan Rakyat sebagai konstituen merekalah yang di korbankan.
TUNTUTAN :
1. TOLAK PERMENDAGRI NO 33 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENDAFTARAN ORKEMAS
2. CABUT TAP MPRS NO 25 TAHUN 1966
3. TOLAK RUU PENDIDIKAN TINGGI
4. TEGAKKAN HAK BERSERIKAT BAGI BURUH, LAWAN UNION BUSTING
5. TOLAK PELIBATAN MILITER (TNI) DALAM PENGAMANAN SIPIL
6. USUT TUNTAS KASUS PELANGGARAN HAM
7. TOLAK SISTEM EKONOMI KHUSUS
8. TOLAK UU/REGULASI YANG DISKRIMINATIF TERHADAP PEREMPUAN DAN LBGT
9. NEGARA HARUS MENJAMIN KEBEBASAN BERKEYAKINAN
10. BERIKAN KEDAULATAN ATAS TANAH KEPADA RAKYAT MISKIN (PETANI DAN KAUM MISKIN KOTA)
11. DEMOKRATISASI DALAM DUNIA PENDIDIKAN
JALAN KELUAR :
1. HAPUS HUTANG LUAR NEGERI DAN STOP HUTANG BARU.
2. NASIONALISASI ASET-ASET VITAL DI BAWAH KONTROL RAKYAT.
3. BANGUN INDUSTRIALISASI NASIONAL DI BAWAH KONROL RAKYAT.
4. BANGUN ORGANISASI POLITIK RAKYAT MANDIRI SEBAGAI EMBRIO PEMERINTAHAN RAKYAT PEKERJA
(PEMBEBASAN, FMD,KOMUNAL,HMJ SOSIOLOGI UNM,HIMADA,PPRM,KPO-PRP,PEREMPUAN MAHARDIKA)
0 Response to "Peryataan Sikap GRAN Aksi 21 Mei"
Posting Komentar